Tasybih



Pengertian, Pembagian dan Tujuan Tasybih
A.  Pengertian
Menurut bahasa tasybih artinya penyerupaan. Sedangkan secara istilah tasybih adalah:
بَيَانُ أنَّ شَيْئًا أَوْ أَشْيَاءَ شَارَكَتْ غَيْرَهَا فِى صِفَةٍ أَوْ أَكْثَرَ بِأَدَاةٍ هِيَ الْكَاف أَوْ نَحْوُهَا مَلْفُوْظَةً أَوْ مَلْحُوْظَةً
“Penjelasan bahwa suatu hal atau beberapa hal memiliki kesamaan sifat dengan hal yang lain. Penjelasan tersebut menggunakan huruf kaf atau sejenisnya, baik tersurat maupun tersirat.”

Contoh-Contoh Serta Unsur-Unsur Tasybih:
1.    Al-Ma’arri menyatakan tentang seseorang yang dipujanya:
أَنْتَ كَالشَّمْسِ فِى الضِّيَاءِ وَ اِنْ جَا ۞ وَزْتَ كِيْوَانَ فِى عُلُوِّ المكَانِ
“Engkau matahari yang memancarkan sinarnya walaupun kau berada di atas planet pluto di tempat yang paling tinggi”
Pada bait di atas, si penyair tahu bahwa orang yang dipujanya itu bahwa wajahnya bercahaya dan menyilaukan mata, lalu ia ingin membuat perumpamaan yang memiliki sifat paling kuat dalam hal menerangi, dan ternyata ia tidak menjumpai suatu hal pun yang lebih kuat daripada sinar matahari. Menyerupakannya dengan matahari untuk itu ia bubuhi dengan huruf kaf (kata perumpamaan/seperti).
2.    Penyair lain menyatakan:
أَنْتَ كَالَّيْثِ فِى الشَّجَاعَةِ وَ الإِقْدَامِ وَ السَّيْفِ فِى قِرَاعِ الْخُطُوْبِ
“Engkau bagaikan serigala yang tampil dengan segala keberaniannya, dan bagaikan pedang yang siap menumpas segala penghalang.”
Dalam syair ini, si penyair memandang orang yang dipujanya memiliki dua sifat, yaitu keberanian dan ketabahan mengatasi segala kesulitan. Ia mencari perumpamaan yang masing-masing memiliki sifat yang paling kuat dalam jenisnya. Maka ia menyerupakannya dengan serigala untuk sifat yang pertama dan dengan pedang yang tajam untuk sifat yang kedua. Penyerupaan ini ia nyatakan dengan huruf kaf.
3.    Penyair lain menyatakan:
كَأَنَّ أَخْلاَ قَكَ فِى لُطْفِهَا ۞ وَرَقَّةٍ فِيْهَا نَسِيْمُ الصَّبَاح
“Sungguh kelembutan dan kelunakan perangaimu bagaikan udara sejuk di pagi hari”
Pada bait ini, penyair mengungkap kelemah-lembutan akhlak temannya yang sangat menyejukkan hati. Maka ia berusaha membuat perumpamaan yang menonjolkan sifat tersebut dengan gambaran paling kuat. Untuk itu, ia memandang bahwa udara pagi yang sejuk dapat menggambarkannya, maka dirangkailah perumpamaan di antara keduanya. Perumpamaan ini ia nyatakan dengan huruf ka-anna (seakan-akan/sungguh seperti).
4.    Penyair lain menyatakan:
كَأَنَّمَا الْمَاءُ فِى صَفَاءٍ ۞ وَقَدْ جَرَى ذَائِبُ اللُّجَيْنِ   
“Sungguh air yang bening dan mengalir itu bagaikan cairan perak”
Dalam syair di atas, si penyair mencari padanan (perumpamaan) dengan air yang bening dengan untuk menonjolkan kebeningannya. Ia berkeyakinan bahwa perak yang mencair dapat menggambarkan keadaan itu. Maka ia menyerupakan air yang bening itu dengan cairan perak dan penyerupaan itu dinyatakan dengan huruf ka-anna.
Dapat kita lihat pada bait di atas adanya penyerupaan sesuatu kepada sesuatu lain yang memiliki kesamaan sifat. Pernyataan yang menunjukkan penyerupaan ini adalah huruf kaf  atau ka-anna. Penyerupaan tersebut disebut dengan tasybih. Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa tasybih harus mengandung empat unsur, yaitu:
a.    Sesuatu yang hendak diserupakan. Hal ini disebut dengan musyabbah.
b.    Sesuatu yang diserupai. Hal ini disebut dengan musyabbah bih. Kedua unsur ini disebut sebagai tharafait-tasybih (kedua pihak yang diserupakan).
c.    Sifat yang terdapat pada kedua pihak itu. Hal ini disebut sebagai wajhusy-syabah. Disyaratkan sifat tersebut harus lebih kuat dan lebih dikenal pada musyabbah bih daripada musyabbah, sebagaimana dapat dilihat pada contoh-contoh di atas.
d.   Huruf atau kata yang menyatakan penyerupaan. Huruf-huruf ini disebut sebagai adatut-tasybih, yaitu kaf, ka-anna dan sebagainya.
B.  Pembagian Tasybih
1.      Tasybih mursal adalah tasybih yang disebut adat tasybihnya
2.      Tasybih mu’akkad adalah  taybih yang dibuang adat tasybihnya
3.      Tasybih mujmal adalah tasybih yang dibuang wajh syabahnya
4.      Tasybih mufashshal adalah tasybih yang disebut wajh syabahnya
5.      Tasybih baligh adalah tasybih yang dibuang adat tasybihnya dan wajh syabahnya.
Contoh-contohnya
 ١ _أَنَا كَالْمَاءِ إِنْ رَضِيْتُ صَفَاءً ۞ وَ إِذَا مَا سَخِطْتُ كُنْتُ لَهِيْبًا
“Bila aku rela maka aku setenang air yang jernih, dan bila aku marah maka aku sepanas api menyala”
Dalam contoh ini penyair menyerupakan dirinya dengan air jernih yang tenang di kala ia sedang rela, dan dengan api yang bergejolak ketika marah, yakni sebagai sesuatu yang disukai namun berpengaruh. Bila diperhatikan, di dalam contoh ini adat tasybih dan wajh syabahnya disebutkan. Maka contoh ini bisa disebut tasybih mursal dan tasybih mufashshal.
2. Ibnu Rumi menyatakan dalam meresapi nyanyian seorang penyanyi:
فَكَأَنَّ لَذَّةَ صَوْتِهِ وَ دَبِيْبَهَا ۞ سِنَّةٌ تَمَشَّى فِى مَفَاصِلِ نُعَّسِ
“Maka kemerduan suaranya yang mengalun itu sungguh bagaikan kantuk yang merayap ke seluruh persendian orang yang mengantuk”
Pada contoh ini Ibnu Rumi menggambarkan keindahan suara dan penampilan seorang penyanyi, seakan-akan keindahannya itu menyusup ke seluruh tubuh seperti menyusupnya rasa kantuk ke seluruh bagian tubuh. Akan tetapi, ia tidak menyebut wajh syabahnya. Tasybih yang tidak disebut wajh syabahnya ini disebut tasybih mujmal.
٣_ اَلْجَوَادُ فِى السُّرْعَةِ بَرْقٌ خَاطِفٌ
“Kecepatan kuda balap itu bagaikan kilat yang menyambar”
Pada contoh ini tidak disebutkan adat tasybihnya. Hal ini dimaksudkan untuk menguatkan anggapan bahwa pihak musyabbah adalah pihak musyabbah bih itu sendiri. Tasybih seperti ini disebut sebagai tasybih muakkad.
4. Al-Muraqqisy menyatakan:
اَلنَّشْرُ مِسْكُ وَ الْوُجُوْهُ دَنَا ۞ نِيْرُ وَ أَطْرَافُ الأَكُفِّ عَنَمُ
“Baunya yang semerbak itu bak minyak kasturi, wajah-wajahnya yang berkilauan bak dinar (uang logam), dan ujung-ujung telapak tangannya merah bak pacar”
Bila diperhatikan, contoh ini termasuk jenis tasybih muakkad. Akan tetapi dibuang adat tasybih dan wajh syabahnya. Hal ini disebabkan penyair bermaksud untuk berlebihan dalam menganggap bahwa musyabbah adalah musyabbah bih itu sendiri. Oleh karena itu, ia tidak mempergunakan adat tasybih yang memberi kesan bahwa musyabbah lebih lemah daripada musyabbah bih dalam wajh syabah, di samping tidak menggunakan wajh syabah yang memaksakan kesamaan kedua pihak dalam suatu sifat atau lebih dan tidak pada sifat yang lain. Tasybih seperti ini disebut sebagai tasybih baligh.

C.  Maksud dan Tujuan Tasybih
Di antara maksud dan tujuan tasybih ialah:
1.      Menjelaskan kemungkinan terjadinya sesuatu hal pada musyabbah, yakni ketika sesuatu yang sangat aneh disandarkan kepada musyabbah, dan keanehan itu tidak lenyap sebelum dijelaskan keanehan serupa dalam kasus lain. Contoh: al-Buhturi berkata,
دَانٍ إِلَى أَيْدِى الْعُفَاتِ وَ شَاسِعٌ ۞ عَنْ كُلِّ نِدٍّ فِى النَّدَى وَ ضَرِيْبِ
كَالْبَدْرِ أَفْرَطَ فِى الْعُلُوِّ وَ ضَوْ ؤُهُ ۞ لِلْعُصْبَةِ السَّارِيْنَ جِدُّ قَرِيْبِ
“Ia dekat dengan orang-orang yang membutuhkannya, namun ia jauh dengan orang-orang yang setaraf dengannya dalam kebajikan dan kemuliaannya. Bagaikan bulan yang sangat tinggi, namun cahayanya sangat dekat bagi oang-orang yang menempuh perjalanan di malam hari.”

2.      Menjelaskan keadaan musyabbah, yakni bila musyabbah tidak dikenal sifatnya sebelum dijelaskan melalui tasybih yang menjelaskannya. Dengan demikian, tasybih itu memberikan pengertian yang sama dengan kata sifat. Contoh: al-Nabighah al-Dzubyani berkata,
كَأَنَّكَ شَمْسٌ وَالْمُلُوْكَ كَوَاكِبٌ ۞ إِذَا طَلَعَتْ لَمْ يَبْدُ مِنْهُنَّ كَوْكَبُ
“Seakan-akan engkau adalah matahari, sedangkan raja-raja lain adalah bintang-bintangnya. Bila matahari telah terbit, maka tiada satu bintang pun tampak.”
3.      Menjelaskan kadar keadaan musyabbah, yakni bila musyabbah sudah diketahui keadaannya secara global, lalu tasybih didatangkan untuk menjelaskan rincian keadaan itu. Contoh: al-Mutanabbi berkata,
مَا قُوْبِلَتْ عَيْنَاهُ إِلَّا ظُنَّتَا ۞ تَحْتَ الدُّجَى نَارَ الْفَرِيْقِ حُلُوْلَا
“Kedua mata singa itu bila dalam kegelapan tidak dapat ditangkap mata kita kecuali disangka sebagai api sekelompok orang yang mendiami daerah itu.”
4.      Menegaskan keadaan musyabbah, yakni bila sesuatu yang disandarkan kepada musyabbah itu membutuhkan penegasan dan penjelasan dengan contoh.

“Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, Padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. dan doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka.” 
(QS ar-Ra’d: 14)
5.      Memperindah atau memperburuk musyabbah.
مَدَدْتَ يَدَيْكَ نَحْوَهُمُ احْتِفَاءً ۞ كَمَدِّهِمَا إِلَيْهِمْ بِالْهِبَاتِ
“Uluran tanganmu kepada mereka dengan penuh penghormatan adalah seperti uluran tangan kepada mereka dengan beberapa pemberian.”
وَتَفْتَحُ لَا كَانَتْ فَمًا لَوْرَأَيْتَهُ ۞ تَوَهَّمْتَهُ بَابًا مِنَ النَّارِ يُفْتَحُ
“Ia membuka mulutnya, sebaiknya ia tidak pernah lahir. Bila engkau melihat mulutnya itu, maka engkau akan menduganya sebagai satu pintu neraka yang terbuka.”

Ada pertanyaan? Diskusikan dengan penulis atau pengguna lain
Tautan disalin ke papan klip!